top of page
Search

Papua Barat Mencetak Kenaikan Persentase Pekerja Anak Tahun 2019–2020 Tertinggi

  • Writer: Vania Adisaputri
    Vania Adisaputri
  • Dec 8, 2022
  • 5 min read

Updated: Dec 14, 2022


Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau. (Human Rights Watch/Website)

Pekerja anak merupakan salah satu isu sosial yang ada di Indonesia. Terlebih saat pandemi melanda, anak yang berada di keluarga yang terdampak perekonomiannya sangat rentan untuk menjadi pekerja anak.


Pekerja anak adalah anak yang melakukan aktivitas pekerjaan yang dapat mengganggu pendidikan, kegiatan bermain, waktu istirahat, membahayakan kesehatan dan keselamatan, serta dapat menghambat tumbuh kembang anak tersebut.


Terdapat beberapa indikator dari seorang anak dikategorikan sebagai pekerja anak antara lain: anak bekerja setiap hari tanpa ada batas waktu minimal, anak tereksploitasi baik secara fisik maupun psikis, anak bekerja dalam waktu yang panjang seperti orang dewasa, serta kesehatan, pendidikan, keselamatan, dan waktu luang dari anak terganggu.


Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada masa transisi pandemi, yaitu tahun 2019 menuju tahun 2020, persentase pekerja anak di Indonesia mengalami peningkatan dari 2,35 persen menjadi 3,25 persen. Pada skala provinsi pun, persentase pekerja anak mayoritas mengalami peningkatan.



Kenaikan persentase pekerja anak tertinggi terdapat di Papua Barat yakni mengalami kenaikan sebesar 3,05 persen.



Salah satu faktor yang menjadi penyebab munculnya pekerja anak adalah kemiskinan. Anak yang berada di dalam keluarga yang ekonominya tidak berkecukupan akan membantu perekonomian keluarganya dengan cara bekerja.


Fitra Andika Sugiyono. (Kemenpppa/Website)

"Rata-rata anak yang berada di dalam keluarga yang ekonominya tidak berkecukupan itu diarahkan untuk membantu perekonomian keluarga." Fitra Andika Sugiyono, Fungsional Perencana Muda pada Asdep Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) RI.


Dari data BPS, pada masa transisi pandemi, persentase kemiskinan di berbagai provinsi pun mengalami peningkatan, termasuk provinsi Papua Barat.



Berdasarkan Kajian Fiskal Regional Kementerian Keuangan RI tahun 2018, tingkat kemiskinan di Papua Barat sifatnya sudah parah dan kronis (chronic poverty). Terdapat pula fakta bahwa 91% jumlah penduduk miskin di Papua Barat berada di daerah pedesaan.


Kemudian, Prof. Wiwik Utami, Guru Besar Universitas Mercu Buana mengatakan bahwa peningkatan persentase kemiskinan di sektor pedesaan terjadi karena adanya ketidakpastian pasar atas produk pertanian atau produk pertanian tersebut sudah dihargai oleh para bandar agar mereka mendapatkan keuntungan. Dengan kata lain, pasar sudah membentuk mekanismenya sendiri. “Faktanya, hasil pertanian saat panen, hasilnya anjlok karena ada mekanisme pasar,” jelas Prof. Wiwik.


Prof. Wiwik Utami. (Dokumentasi Pribadi)

Sejalan dengan hal tersebut, Fitra mengatakan bahwa penghasilan keluarga yang bertempat tinggal di sektor pertanian atau perikanan sangat bergantung dengan kondisi alam. Hal ini menyebabkan keluarga tersebut memiliki peluang yang tinggi untuk melibatkan anaknya dalam membantu perekonomian mereka.


Fitra pun menambahkan bahwa pekerja anak informal mayoritas terjadi di desa, khususnya di sektor perkebunan. "Saat ini, pekerja anak itu banyak di sektor perkebunan dan pekerjaan ini termasuk ke dalam pekerjaan terburuk bagi anak karena sudah membahayakan kesehatan dan keselamatan anak," tegas Fitra.


Pekerja Anak di Perkebunan Kelapa Sawit Papua Barat. (War on West Papua/Website)

Selain itu, banyak perusahan yang tidak besar memanfaatkan tenaga-tenaga anak karena upah yang mereka bayarkan kepada anak-anak dapat lebih murah.


Rendahnya pendidikan orang tua juga mempengaruhi meningkatnya persentase pekerja anak. Orang tua yang pendidikannya rendah akan menganggap bahwa anak mereka tidak perlu untuk bersekolah, lebih baik membantu orang tuanya bekerja.


Berdasarkan National Report Indonesia yang dipublikasikan oleh lembaga penelitian SMERU, Papua Barat merupakan salah satu provinsi dengan jumlah sekolah per desa terendah sehingga akses pendidikannya pun sangat sulit.


Selanjutnya, dari kajian yang dilakukan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2018 mengatakan bahwa menurut peneliti PPKK UGM, masyarakat di Papua Barat sulit mengerti manfaat dari menempuh pendidikan yang mengajarkan membaca atau menghitung, karena saat mereka ingin makan, mereka dapat langsung mengambil hasil alam di sekitar rumah mereka.


Perkebunan di Sekitar Rumah Masyarakat Papua Barat. (ILO/Website)

Terkait dengan pola pikir masyarakat, Fitra pun menambahkan, tak hanya dari faktor ekonomi dan pendidikan, meningkatnya pekerja anak juga dapat disebabkan karena pola pikir masyarakat yang belum sesuai, seperti pemahat patung yang masih dianggap tradisi oleh masyarakat setempat. "Pemahaman masyarakat terhadap pekerja anak berbeda-beda, banyak yang menganggap itu (pekerjaan yang dijalani) masih tradisi, padahal nyatanya pekerjaan tersebut membahayakan (anak)," kata Fitra.


Seni Pahat Kayu Suku Asmat. (MerahPutih/Website)

Dari sisi anak pun sudah mengganggap bahwa dengan bekerja, mereka sudah mendapatkan uang sehingga mereka tidak ingin ditarik dari dunia kerja. "Anak-anak yang sudah mendapatkan upah, dari faktor diri mereka juga nggak mau kalau ditarik dari pekerjaannya karena merasa dia sudah mendapat uang," tambah Fitra.

Cerita Mereka


Tak hanya pada Papua Barat, terdapat pula cerita dari pekerja anak yang berada di perkotaan, seperti Kota Tangerang. Mereka terpaksa bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga mereka.

"Kebutuhan keluarga aku kan banyak, kalau yang nyari (uang) cuma mama (dan) papaku nggak cukup."— Meisya, pekerja seni badut.

Tiga tahun sudah Meisya (13) dan temannya, Yusi (11) menjadi pekerja seni badut di perempatan jalan H.O.S Cokroaminoto, Ciledug. Tak seperti anak seumurannya yang selepas sekolah dapat belajar kembali atau bermain, Meisya dan Yusi harus bekerja sampai pukul 11 malam.

Yusi (kiri) dan Meisya (kanan), Pekerja Seni Badut di Perempatan Jalan H.O.S Cokroaminoto, Kota Tangerang. (Dokumentasi Pribadi)


Pada awalnya, Meisya dan Yusi tidak diizinkan oleh orang tua mereka untuk bekerja. Tetapi, Meisya dan Yusi memohon kepada orang tuanya untuk membantu perekonomian keluarga karena penghasilan orang tua mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ayah dari mereka adalah supir angkutan umum, sedangkan Ibu dari Meisya berprofesi sebagai pekerja seni badut dan Ibu dari Yusi merupakan asisten rumah tangga.


Sebelum pandemi melanda, perekonomian keluarga mereka memang sudah tidak baik. Namun, saat awal pandemi Meisya dan Yusi lebih mengalami kesulitan dalam bekerja karena adanya protokol kesehatan yang harus diterapkan. "Lumayan (susah) sih, soalnya kan orang langsung pada jauh-jauh gitu, jadinya sepi, sekarang sepi juga, tapi nggak sesepi dulu (saat awal pandemi)," kata Meisya.


Berbeda dengan Meisya dan Yusi, Fitri (7) bekerja sebagai pemulung bersama Ayahnya, Yoto (33) . Yoto dan Fitri mulai mengumpulkan barang setelah Fitri pulang dari sekolah dan setiap harinya harus berjalan sampai 6 kilometer. "Kalo pulang sekolah (siang) nyari (barang), pulang maghrib, dari umur 1 tahun udah meninggal ibunya, jadi ikut (mencari barang)," ujar Yoto.


Fitri dan Yoto, Pemulung di Kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. (Dokumentasi Pribadi)

Lalu, seperti halnya Meisya dan Yusi, Yoto dan Fitri pun mengalami kesulitan dalam perekonomian, terlebih saat awal pandemi.

"Kalo pas awal pandemi mah susah, asal buat makan cukup aja, Alhamdulillah" Yoto.

Dimas (25) menyambung, keluarganya juga sudah mengalami kesulitan perekonomian sebelum adanya pandemi. Kedua orang tua dari Dimas sudah tidak bekerja. Karena hal itu, semenjak tahun 2020, Dimas dan ketiga adiknya yang masing-masing berumur 20 tahun, 11 tahun, dan 9 tahun terpaksa bekerja sebagai pekerja seni ondel-ondel. Mereka dapat bekerja selama 12 jam ketika hari sabtu dan minggu. "Kita keliling dari jam 2 siang sampe jam 2 pagi kalo sabtu (dan) minggu, kalo lagi (hari) sekolah paling cuma sampe malam," kata Dimas.


Dimas (kanan) dan Ketiga Adiknya Bekerja Sebagai Pekerja Seni Ondel-Ondel di Kawasan Cipondoh, Kota Tangerang. (Dokumentasi Pribadi)


Munculnya pekerja anak tentunya berdampak negatif, seperti terganggunya kesehatan dan pendidikan anak. Akan tetapi, dampak yang paling utama adalah siklus pekerja anak, pendidikan, dan perekonomian yang akan terus berjalan. “Ketika anak menjadi pekerja anak mereka menjadi tidak cukup hak pendidikannya, ketika nanti dia berkeluarga, nanti juga (akan) kurang (baik) perekonomiannya, dan hal itu menumbuhkan pekerja anak lainnya,” kata Fitra.


Terdapat pula dampak yang sangat berbahaya yaitu anak akan rentan menjadi korban kekerasan. “Pekerja anak dan kekerasan pada anak itu irisannya sangat-sangat tipis, dan itu juga termasuk salah satu bentuk eksploitasi,” tegas Fitra.


Untuk melindungi pekerja anak, pemerintah sudah menyusun regulasi perlindungan terhadap pekerja anak. Selain itu, perusahaan yang ada di sektor formal pun sudah menetapkan kebijakan untuk tidak melibatkan anak dalam pekerjaannya.


Meskipun begitu, Fitra mengatakan bahwa isu pekerja merupakan isu bersama, bukan isu sepihak saja. “Isu pekerja anak ini bukan hanya isu dari pemerintah saja atau masyarakat saja, tetapi seluruh bagian lapisan masyarakat berperan penting, nggak bisa satu bagian saja,” Kata Fitra.


Oleh karena itu, terdapat 5 unsur yang dapat membantu menanggulangi permasalahan pekerja anak. Unsur tersebut disebut sebagai pentahelix yang terdiri dari pemerintah, dunia usaha, masyarakat, akademisi, dan media.


Ilustrasi Pentahelix (Departemen Teknik Komputer UNDIP/Website).

Dalam menanggulangi permasalahan pekerja anak, pemerintah sudah melakukan berbagai hal seperti, menyusun berbagai kebijakan, melakukan sosialisasi, melatih dan mengedukasi masyarakat, menarik pekerja anak untuk dikembalikan ke sekolah secara bertahap, melakukan pendampingan untuk melatih anak agar mandiri tanpa menjerumuskan anak ke dalam pekerjaan yang bisa membahayakan dirinya, dan memberi bantuan perekonomian.


Di sisi lain, pelaku di dunia usaha pun harus dapat memberikan batasan boleh atau tidaknya seorang anak terlibat dalam pekerjaan. Tak hanya itu, akademisi juga dapat melakukan penelitian agar dapat memberi rekomendasi untuk pemerintah maupun pelaku dunia usaha dalam menanggulangi pekerja anak.


Selain itu, mahasiswa juga dapat melakukan sosialisasi tentang pekerja anak melalui kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) agar masyarakat teredukasi, mengingat salah satu faktor penyebab munculnya pekerja anak adalah pola pikir masyarakat yang belum sesuai.


Akan tetapi, masyarakat juga harus dapat menerima sosialisasi tersebut. Terakhir, media ternyata juga berperan penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai permasalahan pekerja anak.
























Comentarios


©2022 by Vania's Portofolio. Proudly created with Wix.com

bottom of page